Tuesday, October 28, 2008
Menata Timbangan Diri
dakwatuna.com - “Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10)
Maha Besar Allah yang telah menciptakan dunia begitu indah. Awan pekat berbondong-bondong digiring angin. Hujan bersih menitik dari langit. Tumbuh-tumbuhan pun menghijau, menyegarkan pandangan mata. Dan, menyejukkan hati yang gelisah.
Saatnya diri untuk bercermin. Menengok seberapa kotor wajah karena terpaan debu kehidupan. Saatnyalah, menimbang diri dengan penuh kejernihan.
Resapilah bahwa diri terlalu banyak dosa, bukan sebaliknya
Di antara bentuk kelalaian yang paling fatal adalah merasa tidak punya dosa. Yang kerap terbayang selalu pada kebaikan yang pernah dilakukan. Dari sinilah seseorang bisa terjebak pada memudah-mudahkan kesalahan. Bahkan, bisa menjurus pada kesombongan. “Sayalah orang yang paling baik. Pasti masuk surga!”
Dua firman Allah swt. menyiratkan orang-orang yang lalai seperti itu. “Katakanlah, ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’ Yaitu, orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 103-104)
Bentuk lain dari sikap ini, adanya keengganan mencari fadhilah atau nilai tambah sebuah ibadah. Semua yang dilakukan cuma yang wajib. Keinginan menunaikan yang sunnah menjadi tidak begitu menarik. Ibadahnya begitu kering.
Padahal, Rasulullah saw. tak pernah lepas dari ibadah sunnah. Kaki Rasulullah saw. pernah bengkak karena lamanya berdiri dalam salat. Isteri beliau, Aisyah r.a., mengatakan, “Kenapa Anda lakukan itu, ya Rasulullah? Padahal, Allah sudah mengampuni dosa-dosa Anda?” Rasulullah saw. menjawab, “Apa tidak boleh aku menjadi hamba yang senantiasa bersyukur?”
Beliau saw. pun mengucapkan istighfar tak kurang dari tujuh puluh kali tiap hari. Setiapkali ada kesempatan, beliau saw. selalu memohon maaf kepada orang-orang yang sering berinteraksi dengan beliau. Beliau saw. khawatir kalau ada kesalahan yang tak disengaja. Kesalahan yang terasa ringan buat diri, tapi berat buat orang lain.
Berlatih diri untuk menerima nasihat, dari siapapun datangnya
Boleh jadi, sebuah pepatah memang cocok buat diri kita: gajah di pelupuk mata tak tampak, sementara kuman di seberang lautan jelas terlihat. Kesalahan orang lain begitu jelas buat kita. Tapi, kekhilafan diri sendiri seperti tak pernah ada.
Jadi, tidak semua orang yang paham tentang teori salah dan dosa mampu mendeteksi dan mengoreksi kesalahan diri sendiri. Rasulullah saw. pernah menyampaikan hal itu dalam hadits yang diriwayatkan Muslim, “Pada hari kiamat seorang dihadapkan dan dilempar ke neraka. Orang-orang bertanya, ‘Hai Fulan, mengapa kamu masuk neraka sedang kamu dahulu adalah orang yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar?’ Orang tersebut menjawab, ‘Ya, benar. Dahulu aku menyuruh berbuat ma’ruf, sedang aku sendiri tidak melakukannya. Aku mencegah orang lain berbuat munkar sedang aku sendiri melakukannya.”
Dari situlah, seseorang butuh bantuan orang lain untuk menerima nasihat. Cuma masalah, seberapa cerdas seseorang menyikapi masukan. Kadang, emosi yang kerdil membuat si penerima nasihat banyak menimbang. Ia tidak melihat apa isi nasihat, tapi siapa yang memberi nasihat. Dan inilah di antara indikasi seseorang terjebak dalam sifat sombong. Sebuah sifat yang selalu menolak kebenaran, dan mengecilkan keberadaan orang lain.
Paksakan diri untuk bermuhasabah secara rutin
Sukses-tidaknya hidup seseorang sangat bergantung pada kemampuan mengawasi diri. Seberapa banyak kebaikan yang diperbuat dan seberapa besar kesalahan yang terlakoni. Kalau hasil hitungan itu positif, syukur adalah sikap yang paling tepat. Tapi jika negatif, istighfarlah yang terus ia ucapkan. Kesalahan itu pun menjadi pelajaran, agar tidak terulang di hari esok.
Masalahnya, orang yang cenderung santai, sulit melakukan muhasabah secara jernih. Timbangannya selalu miring. Yang terlihat cuma kebaikan-kebaikan. Sementara, dosa dan kesalahan tenggelam dengan tumpukan angan-angan.
Muhasabah yang tidak jernih kerap menonjolkan amalan dari segi jumlah. Bukan mutu. Padahal, Allah swt. tidak sekadar melihat jumlah, tapi juga mutu. Bagaimana niat amal, seberapa besar kesadaran dan pemahaman dalam amal tersebut. Dan selanjutnya, sejauhmana produktivitas yang dihasilkan dari amal.
Bahkan boleh jadi, orang justru jatuh dalam kesalahan ketika proses amalnya menzhalimi orang lain. Atau, amal yang dilakukan menciderai hak orang lain. Umar bin Khaththab pernah memarahi seorang pemuda yang terus-menerus berada dalam masjid, sementara kewajibannya mencari nafkah terlalaikan.
Umar bin Khaththab pula yang pernah memberikan nasihat buat kita semua. “Hisablah diri kamu sebelum kamu dihisab. Timbanglah amalan kamu sebelum ia ditimbang. Dan bersiap-siaplah menghadapi hari kiamat (hari perhitungan).”
Gandrungkan hati untuk tetap rindu pada lingkungan orang-orang saleh
Rasulullah saw. pernah bersabda, “Seseorang adalah sejalan dan sealiran dengan kawan akrabnya. Maka, hendaklah kamu berhati-hati dalam memilih kawan pendamping.” (HR. Ahmad)
Nasihat Rasul ini tentu tidak mengharamkan seorang mukmin mendekati orang-orang yang tinggal di lingkungan buruk. Karena justru merekalah yang paling berhak diajak kepada kebersihan Islam. Tapi, ada saat-saat tertentu, seseorang lebih cenderung berada pada lingkungan negatif daripada yang baik. Bukan karena ingin berdakwah, tapi karena ingin mencari kebebasan. Di situlah ia tidak mendapat halangan, teguran, dan nasihat. Nafsunya bisa lepas, bebas, tanpa batas.
Ketika seseorang berbuat dosa, sebenarnya ia sedang mengalami penurunan iman. Karena dosa sebenarnya bukan pada besar kecilnya. Tapi, di hadapan siapa dosa dilakukan. Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah memandang kecil (dosa), tapi pandanglah kepada siapa yang kamu durhakai.” (HR. Aththusi)
oleh : Muh. Nuh
Maha Besar Allah yang telah menciptakan dunia begitu indah. Awan pekat berbondong-bondong digiring angin. Hujan bersih menitik dari langit. Tumbuh-tumbuhan pun menghijau, menyegarkan pandangan mata. Dan, menyejukkan hati yang gelisah.
Saatnya diri untuk bercermin. Menengok seberapa kotor wajah karena terpaan debu kehidupan. Saatnyalah, menimbang diri dengan penuh kejernihan.
Resapilah bahwa diri terlalu banyak dosa, bukan sebaliknya
Di antara bentuk kelalaian yang paling fatal adalah merasa tidak punya dosa. Yang kerap terbayang selalu pada kebaikan yang pernah dilakukan. Dari sinilah seseorang bisa terjebak pada memudah-mudahkan kesalahan. Bahkan, bisa menjurus pada kesombongan. “Sayalah orang yang paling baik. Pasti masuk surga!”
Dua firman Allah swt. menyiratkan orang-orang yang lalai seperti itu. “Katakanlah, ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’ Yaitu, orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 103-104)
Bentuk lain dari sikap ini, adanya keengganan mencari fadhilah atau nilai tambah sebuah ibadah. Semua yang dilakukan cuma yang wajib. Keinginan menunaikan yang sunnah menjadi tidak begitu menarik. Ibadahnya begitu kering.
Padahal, Rasulullah saw. tak pernah lepas dari ibadah sunnah. Kaki Rasulullah saw. pernah bengkak karena lamanya berdiri dalam salat. Isteri beliau, Aisyah r.a., mengatakan, “Kenapa Anda lakukan itu, ya Rasulullah? Padahal, Allah sudah mengampuni dosa-dosa Anda?” Rasulullah saw. menjawab, “Apa tidak boleh aku menjadi hamba yang senantiasa bersyukur?”
Beliau saw. pun mengucapkan istighfar tak kurang dari tujuh puluh kali tiap hari. Setiapkali ada kesempatan, beliau saw. selalu memohon maaf kepada orang-orang yang sering berinteraksi dengan beliau. Beliau saw. khawatir kalau ada kesalahan yang tak disengaja. Kesalahan yang terasa ringan buat diri, tapi berat buat orang lain.
Berlatih diri untuk menerima nasihat, dari siapapun datangnya
Boleh jadi, sebuah pepatah memang cocok buat diri kita: gajah di pelupuk mata tak tampak, sementara kuman di seberang lautan jelas terlihat. Kesalahan orang lain begitu jelas buat kita. Tapi, kekhilafan diri sendiri seperti tak pernah ada.
Jadi, tidak semua orang yang paham tentang teori salah dan dosa mampu mendeteksi dan mengoreksi kesalahan diri sendiri. Rasulullah saw. pernah menyampaikan hal itu dalam hadits yang diriwayatkan Muslim, “Pada hari kiamat seorang dihadapkan dan dilempar ke neraka. Orang-orang bertanya, ‘Hai Fulan, mengapa kamu masuk neraka sedang kamu dahulu adalah orang yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar?’ Orang tersebut menjawab, ‘Ya, benar. Dahulu aku menyuruh berbuat ma’ruf, sedang aku sendiri tidak melakukannya. Aku mencegah orang lain berbuat munkar sedang aku sendiri melakukannya.”
Dari situlah, seseorang butuh bantuan orang lain untuk menerima nasihat. Cuma masalah, seberapa cerdas seseorang menyikapi masukan. Kadang, emosi yang kerdil membuat si penerima nasihat banyak menimbang. Ia tidak melihat apa isi nasihat, tapi siapa yang memberi nasihat. Dan inilah di antara indikasi seseorang terjebak dalam sifat sombong. Sebuah sifat yang selalu menolak kebenaran, dan mengecilkan keberadaan orang lain.
Paksakan diri untuk bermuhasabah secara rutin
Sukses-tidaknya hidup seseorang sangat bergantung pada kemampuan mengawasi diri. Seberapa banyak kebaikan yang diperbuat dan seberapa besar kesalahan yang terlakoni. Kalau hasil hitungan itu positif, syukur adalah sikap yang paling tepat. Tapi jika negatif, istighfarlah yang terus ia ucapkan. Kesalahan itu pun menjadi pelajaran, agar tidak terulang di hari esok.
Masalahnya, orang yang cenderung santai, sulit melakukan muhasabah secara jernih. Timbangannya selalu miring. Yang terlihat cuma kebaikan-kebaikan. Sementara, dosa dan kesalahan tenggelam dengan tumpukan angan-angan.
Muhasabah yang tidak jernih kerap menonjolkan amalan dari segi jumlah. Bukan mutu. Padahal, Allah swt. tidak sekadar melihat jumlah, tapi juga mutu. Bagaimana niat amal, seberapa besar kesadaran dan pemahaman dalam amal tersebut. Dan selanjutnya, sejauhmana produktivitas yang dihasilkan dari amal.
Bahkan boleh jadi, orang justru jatuh dalam kesalahan ketika proses amalnya menzhalimi orang lain. Atau, amal yang dilakukan menciderai hak orang lain. Umar bin Khaththab pernah memarahi seorang pemuda yang terus-menerus berada dalam masjid, sementara kewajibannya mencari nafkah terlalaikan.
Umar bin Khaththab pula yang pernah memberikan nasihat buat kita semua. “Hisablah diri kamu sebelum kamu dihisab. Timbanglah amalan kamu sebelum ia ditimbang. Dan bersiap-siaplah menghadapi hari kiamat (hari perhitungan).”
Gandrungkan hati untuk tetap rindu pada lingkungan orang-orang saleh
Rasulullah saw. pernah bersabda, “Seseorang adalah sejalan dan sealiran dengan kawan akrabnya. Maka, hendaklah kamu berhati-hati dalam memilih kawan pendamping.” (HR. Ahmad)
Nasihat Rasul ini tentu tidak mengharamkan seorang mukmin mendekati orang-orang yang tinggal di lingkungan buruk. Karena justru merekalah yang paling berhak diajak kepada kebersihan Islam. Tapi, ada saat-saat tertentu, seseorang lebih cenderung berada pada lingkungan negatif daripada yang baik. Bukan karena ingin berdakwah, tapi karena ingin mencari kebebasan. Di situlah ia tidak mendapat halangan, teguran, dan nasihat. Nafsunya bisa lepas, bebas, tanpa batas.
Ketika seseorang berbuat dosa, sebenarnya ia sedang mengalami penurunan iman. Karena dosa sebenarnya bukan pada besar kecilnya. Tapi, di hadapan siapa dosa dilakukan. Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah memandang kecil (dosa), tapi pandanglah kepada siapa yang kamu durhakai.” (HR. Aththusi)
oleh : Muh. Nuh
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Menurut ulama Syaikh Anwar Awlaki, Muslim AS seharusnya tidak melibatkan diri dalam pemilu presiden karena fakta menunjukkan bahwa siapapun yang menjadi presiden AS sama sekali tidak memberikan manfaat bagi umat Islam, baik di AS maupun di seluruh dunia.
Sebagai bagian dari masyarakat AS, Muslim Amerika juga antusias untuk ikut memberikan suaranya dalam pemilu presiden AS yang akan digelar 4 November besok. Sejak masa kampanye, muslim Amerika tak jarang berdebat tentang siapa kandidat presiden yang seharusnya mereka dukung, Barack Obama atau John McCain.
Sebagian mereka berpendapat, meski kedua kandidat tidak menjanjikan apa-apa bagi warga Muslim, mereka selayaknya berpatisipasi, paling tidak ada yang lebih baik dari dua pilihan yang buruk.
Namun, menurut ulama Syaikh Anwar Awlaki, Muslim AS seharusnya tidak melibatkan diri dalam pemilu presiden karena fakta menunjukkan bahwa siapapun yang menjadi presiden AS sama sekali tidak memberikan manfaat bagi umat Islam, baik di AS maupun di seluruh dunia.
Dalam tulisan berjudul "Voting for American Presiden" di situs pribadinya, Syaikh Awlaki yang pernah menjadi imam di sebuah masjid di California, AS ini juga mengatakan bahwa sistem demokrasi-yang digembor-gemborkan AS ke seluruh dunia-adalah sistem yang tidak Islami dan umat Islam seharusnya tidak menjadi bagian dari sistem demokrasi itu, apalagi mengadopsinya.
"Jika orang melihat akar dan sejarah demokrasi atau melihat realitas demokrasi yang diterapkan saat ini, mereka akan menyadari bahwa demokrasi adalah sistem yang bukan hanya sangat berbeda, tapi sangat bertentangan dengan sistem Islam," tulis Syaikh Awlaki
Umat Islam, kata Syaikh Awlaki, seharusnya melihat bahwa Barat dalam perangnya terhadap Islam, menawarkan sistem demokrasi sebagai alternatif untuk menentang sistem Syariah. "Jika Barat, sebagai pendiri sistem demokrasi melihat sistem itu berlawanan dengan Islam, mengapa sebagian umat Islam masih ingin mempertahankan partisipasinya dalam sistem demokrasi dan mengadopsinya sebagai landasan politik mereka?" tukas Syaikh Awlaki.
Demokrasi, kata Syaikh Awlaki, adalah sistem Barat yang diciptakan dan dikembangkan di Barat. Dan sekarang, Barat-lah dan bukan Muslim, yang memegang otoritas dan merasa berhak secara penuh untuk mengatakan pada dunia apa itu demokrasi dan bagaimana demokrasi harus dipraktekkan dan diimplementasikan.
Ia menegaskan, umat Islam punya sistem pemerintahan sendiri. Sebab itu, umat Islam sendiri yang harus mendefinisikannya dan tidak membiarkan orang-orang non-Muslim ikut campur dalam ajaran agama kaum Muslimin dan tidak mengajari umat Islam apa yang benar dan apa yang salah.
"Mereka yang gencar mempromosikan agar umat Islam harus berpartisipasi dalam pemilu presiden AS berargumen bahwa kita memilih yang agak baik dari dua pilihan buruk. Prinsip itu tidak salah, tapi mereka lupa bahwa proses ketika memilih diantara dua kandidat yang buruk itu, pada saat itulah mereka sedang berkomitmen pada kejahatan yang lebih besar lagi," papar Syaikh Awlaki.
Pada kenyataannya, kata Syaikh Awlaki, persoalan ini bukan sekedar menjadi orang Amerika dan menjadi bagian dari sistem demokrasi itu tapi lebih pada apa manfaatnya bagi umat Islam jika Muslim AS memilih salah antara Obama dan McCain atau siapa pun dia.
Menurut Syaikh, alasan untuk menghapuskan kendala psikologis antara Muslim dan non-Muslim, ancaman erosi aqidah dan resiko seseorang kehilangan agamanya, jauh lebih berat dibandingkan kemungkinan manfaat yang muncul dari partisipasi umat Islam dalam sistem demokrasi seperti yang berlaku di AS.
"Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana bisa seorang Muslim yang memiliki iman di dadanya menuju kotak suara dan memberikan suaranya pada makhluk macam McCain atau Obama?! Bagaimana umat Islam bisa tidur nyenyak setelah memilij orang-orang macam George W. Bush?."
"Tak peduli apakah pilihan Anda relevan atau tidak, di hari kiamat nanti Anda akan dipanggil untuk menjawab pertanyaan atas pilihan Anda itu. Anda, dibawah paksaan, ancaman atau tidak, secara sadar telah memilih pemimpin bangsa yang mengobarkan perang terhadap Islam," papar Syaikh Awlaki.
Ia mengungkapkan, ada keyakinan yang aneh di sebagian kalangan Muslim AS yang berpartispasi dalam pemilu presiden AS. "Mereka meyakini, jika mereka ikut dalam pemilu orang-orang kafir, maka akan membawa kebaikan bagi diri mereka, sementara jika mereka percaya pada Allah swt tapi mereka menghindari orang-orang kafir-padahal itulah yang dingingkan Allah dari umat Islam-mereka akan kehilangan kebaikan itu dan akan membahayakan diri mereka sendiri," jelas Syaikh Awlaki.
Sikap seperti itu, tegas Awlaki, menunjukkan kelemahan orang Islam karena meyakini bahwa mereka hanya bisa bertahan jika mereka mencari dukungan dari musuh-musuh Allah swt. "Bagi mereka yang beriman, cukuplah Allah buat mereka dan mereka tidak perlu mencari bantuan dari para pemimpin atau pemerintahan orang-orang kafir."
"Ikut memilih Firaun Amerika yang baru, tidak ada manfaatnya bagi umat," tandas Syaikh Awlaki.
Nasehat Syaikh Awlaki bisa menjadi bahan renungan bagi umat Islam, bukan hanya di AS tapi juga di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia yang masih saja "berkiblat" pada sistem demokrasi ala Amerika. Kita lihat bagaimana antusiasnya sejumlah stasiun televisi di negeri ini menyiarkan gegap gempitanya pelaksanaan pemilu di AS, tanpa bersikap kritis terhadap agenda-agenda dan perilaku para kandidatnya terhadap isu-isu dunia Islam dan umat Islam. (ln)
Post a Comment